Kamis, 27 Desember 2012
Bahan Berbahaya Beracun
BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN (B3)
Peraturan Pemerintah No.18/1999
mendefinisikan limbah B3 sebagai berikut:
“Limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lain” .
Klasifikasi
limbah B3 di Indonesia didasarkan atas 2 hal, yaitu karakteristik dan sumber
limbah tersebut. PP-18/1999 mengkategorikan limbah B3 berdasarkan sumbernya
dari mana limbah tersebut dihasilkan. Sistematika klasifikasi ini identik
dengan yang digunakan oleh US-EPA, yaitu limbah kelas F, K, P, dan U seperti
yang tercantum dalam RCRA.
Di Indonesia, klasifikasi limbah
B3 berdasarkan sumbernya dibagi menjadi 3 golongan.
a. Limbah B3 dari sumber
yang non-spesifik: Suatu limbah dinyatakan sebagai limbah B3 jika
limbah tersebut mengandung salah satu atau lebih senyawa kimia seperti yang
tercantum dalam Daftar I dari PP-18/1999.
b. Limbah B3 dari sumber
yang spesifik: Suatu limbah dinyatakan sebagai limbah B3 jika limbah
tersebut berasal dari industri seperti yang tercantum dalam Daftar 2 dari
PP-18/1999.
c. Limbah B3 dari sisa
kemasan, tumpahan, bahan kadaluwarsa: Suatu limbah dinyatakan limbah
B3 jika limbah tersebut merupakan sisa kemasan, tumpahan, ataupun bahan
kadaluwarsa dari suatu produk yang mengandung salah satu atau lebih senyawa
kimia seperti yang tercantum dalam Daftar 3 dari PP-18/1999.
Jika limbah
yang dimaksud tidak tercantum dalam daftar tersebut di atas, PP-18/1999 lebih
lanjut menetapkan bahwa limbah dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai limbah
B3 jika limbah tersebut memiliki satu atau lebih sifat-sifat berikut ini.
a. Mudah Meledak
Limbah mudah
meledak (explosive) adalah limbah yang pada temperatur dan tekanan
standar dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan/atau fisika dapat
menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak
lingkungan sekitarnya. Limbah B3 yang paling berbahaya adalah limbah kimia
jenis peroksida organik, karena selain bersifat oksidator kuat juga mempunyai
sifat kimia tidak stabil. Kebanyakan senyawa ini sangat sensitif terhadap
guncangan, gesekan, dan panas, serta dapat terdekomposisi secara eksotermis
dengan melepas panas yang sangat tinggi. Contohnya antara lain adalah asetil
peroksida, benzoil peroksida, kumen peroksida, dan asam perasetat. Limbah lain
yang bersifat eksplosif adalah limbah kimia jenis monomer yang mempunyai
kemampuan berpolimerisasi secara spontan sambil melepaskan gas bertekanan serta
panas yang tinggi. Contohnya antara lain butadiena dan metakrilat.
b. Mudah Terbakar
Limbah mudah terbakar (flammable)
adalah limbah yang mempunyai salah satu sifat sebagai berikut:
- Limbah berupa cairan:
mengandung alkohol kurang dari 24% (vol) dan/atau mempunyai titik nyala tidak
lebih dari 60 derajat Celcius.
- Limbah bukan berupa cairan:
pada suhu dan tekanan standar dapat mudah menyebabkan kebakaran melalui
gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan, dan apabila
terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus.
- Merupakan limbah bertekanan
yang mudah terbakar.
- Merupakan limbah pengoksidasi.
Walaupun limbah ini kebanyakan
adalah jenis pelarut organik, namun dapat pula berbentuk padat seperti kalium,
litium hidrida, dan natrium hidrida, yang apabila berkontak dengan udara dapat
terbakar secara spontan. Limbah B3 jenis ini dinamakan limbah pyrophoric.
c. Reaktif
Limbah reaktif adalah limbah
yang mempunyai salah satu sifat berikut:
- Pada keadaan normal tidak
stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
- Dapat bereaksi hebat dengan
air.
- Apabila bercampur dengan air
berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap, atau asap beracun dalam
jumlah yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
- Merupakan limbah sianida,
sulfida, atau amoniak yang pada kondisi pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan
gas, uapa, atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia
dan lingkungan.
- Mudah meledak atau bereaksi
pada suhu dan tekanan standar.
- Dapat menyebabkan kebakaran
karena melepas atau menerima oksigen, atau limbah peroksida organik yang tidak
stabil dalam suhu tinggi. Limbah jenis ini dapat bereaksi secara spontan jika
berkontak atau bercampur dengan air atau udara. Contohnya asam sulfat bereaksi
secara spontan dengan air menghasilkan panas yang tinggi (eksotermis). Beberapa
jenis logam seperti kalium, natrium, dan litium juga reaktif terhadap air
menghasilkan gas hidrogen yang mudah terbakar.
Limbah lain yang berbentuk debu
yang sangat halus dari bahan logam, katalis, atau batu bara reaktif terhadap
udara dan berpotensi terbakar atau meledak. Adapun bahan pengoksidasi (oksidan)
bersifat reaktif terhadap bahan organik seperti asam nitrat, hipoklorit, dan
perklorat.
d. Menyebabkan Infeksi
Limbah yang menyebabkan infeksi
(infeksius) adalah limbah-limbah yang berpotensi menginfeksi makhluk hidup.
Contohnya antara lain peralatan medis bekas pakai, bagian tubuh yang diamputasi
dan cairan dari tubuh manusia yang terinfeksi, limbah laboratorium atau limbah
lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah jenis ini
umumnya berupa limbah rumah sakit atau laboratorium klinik.
e. Korosif
Limbah korosif adalah limbah
yang menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit atau mengkorosikan baja. Limbah
ini mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah yang bersfat asam dan
sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa. Limbah korosif dapat
merusak atau menghancurkan jaringan makhluk hidup akibat adanya efek kimia.
Contohnya adalah asam, basa, dan halogen yang mana efeknya terhadap tubuh
manusia antara lain iritasi, terbakar, dan hancurnya jaringan tubuh.
f. Beracun berdasarkan
TCLP Test
Limbah beracun (toksik) adalah
limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan, yang
penentuannya dilakukan dengan pengujian Toxicity Characteristic Leaching
Procedure. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui mobilitas bahan pencemar yang
terkandung dalam suatu limbah akibat adanya efek pencucian (leaching).
Metode ini dikembangkan oleh US-EPA untuk mengetahui tingkat bahaya air
rembesan (leachate) dari suatu landfill limbah domestik, yang pada
waktu itu juga digunakan sebagai landfill limbah B3 (co-disposal).
Nilai ambang batas TCLP ditetapkan oleh pemerintah dalam PP-18/1999. Jika nilai
TCLP untuk suatu parameter tertentu melampaui nilai baku mutu, maka limbah
tersebut dikategorikan sebagai limbah B3.
g. Beracun berdasarkan
Toxicity Test
Limbah beracun (toksik) adalah
limbah yang mengandung racun dengan bahaya akut, yang penentuannya dilakukan
dengan uji toxicity bio-assay.
Uji ini adalah penentuan dosis
(gram pencemar per kilogram berat badan) yang dapat menyebbabkan kematian 50%
populasi makhluk hidup yang dijadikan percobaan (LD50). Pengujian ini biasanya
menggunakan hewan percobaan seperti mencit, tikus, kelinci, anjing, dan
lain-lain. Sejumlah limbah B3 dimasukkan ke dalam tubuh binatang percobaan
tersebut melalui beberapa rute (kecuali pernafasan) seperti intravena, mulut,
kulit, anus, mata, dsb. Dosis limbah B3 divariasikan sesuai dengan berat tubuh
binatang percobaan. Apabila nilainya lebih kecil dari 15 gram per kilogram
berat badan hewan uji, maka limbah tersebut dikategorikan limbah B3. Data
toksisitas (LD50) untuk bahan murni (bukan campuran) dapat pula diperoleh dari MSDS
atau referensi lainnya seperti Sax’s Dangerous Properties.
LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN
BERACUN (B3)
I. Limbah
berdasarkan Pasal 1 angka (20) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan. Selanjutnya, Limbah bahan berbahaya dan beracun (Limbah B3
berdasarkan Pasal 1 angka (22) UUPPLH adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3. Kemudian, Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disingkat B3 berdasarkan Pasal 1 angka (20) UUPPLH adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan
hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan
hidup manusia dan makhluk hidup lain.
Pengelolaan limbah B3
berdasarkan Pasal 1 angka (23) UUPPLH adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3
berdasarkan Pasal 59 ayat (7) UUPPLH, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Memperhatikan ketentuan Pasal
124 UUPPLH yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH,
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti. Adapun Peraturan Pemerintah
yang mengatur tentang Pengelolaan Limbah B3 saat ini yaitu: Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (PP No. 18/1999), yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan
Peraturan Pemerintah No. 85 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (PP No. 85/1999. PP No. 18/1999).
Berdasarkan Pasal 8 PP 85/1999,
mengenai limbah yang dihasilkan dari kegiatan yang tidak termasuk dalam
Lampiran Tabel I, Tabel 2 PP 85/1999, apabila terbukti memenuhi Pasal 7 ayat
(3) PP 85/1999 dan atau ayat (4), maka limbah tersebut merupakan limbah B3,
jika limbah tersebut berdasarkan uji karekteristik mudah meledak, mudah
terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi dan korosif, dan/atau
berdasarkan pengujian toksikologi limbah tersebut bersifat akut dan/atau
kronik.
Pengelolaan Limbah B3,
berdasarkan Pasal 1 angka (3) PP 18/1999 adalah rangkaian kegiatan yang
mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan penimbunan limbah B3.
Berkaitan dengan pengelolaan limbah B3, Pasal 59
UUPPLH, menentukan bahwa:
1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2. Dalam hal B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan B3, mengangkut B3, mengedarkan B3, menyimpan B3, memanfaatkan B3, membuang B3, mengolah B3, dan atau menimbun B3 yang telah kedaluwarsa, maka pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
1. Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
2. Dalam hal B3 yang dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan B3, mengangkut B3, mengedarkan B3, menyimpan B3, memanfaatkan B3, membuang B3, mengolah B3, dan atau menimbun B3 yang telah kedaluwarsa, maka pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.
3. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.
4. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
5. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.
6. Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
II. Kewajiban setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pengelolaan limbah
hasil usaha dan/atau kegiatannya, termasuk pengelolaan B3. Pengelolaan hasil
dari usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat dilakukan secara sendiri atau
diserahkan kepada pihak lain.
Pengertian pengelolaan limbah tidak terbatas pada
pengelolaan limbah belaka, tetapi merupakan kegiatan yang mencakup penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan pengolahan limbah termasuk
penimbunan hasil limbah tersebut. Pengelolaan limbah bertujuan untuk mencegah
dan menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh limbah usaha dan atau kegiatan serta melakukan pemulihan
kualitas lingkungan hidup yang tercemar dengan harapan bisa difungsikan kembali
sesuai dengan peruntukkannya.
Pengelolaan limbah tidak saja meminimisasi limbahnya saja, melainkan memproses kembali limbah tersebut dengan menggunakan teknologi tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahan dan beracun limbah agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan sekaligus dapat mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Pengelolaan limbah tidak saja meminimisasi limbahnya saja, melainkan memproses kembali limbah tersebut dengan menggunakan teknologi tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahan dan beracun limbah agar tidak membahayakan kesehatan manusia dan sekaligus dapat mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan.
Membuang limbah secara langsung ke media lingkungan
dapat menimbulkan bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta
makhluk hidup lainnya. Mengingat resiko yang ditimbulkan dari limbah B3, maka
perlu diupayakan agar setiap kegiatan industri dapat meminimalkan limbah yang
dihasilkan dengan cara melakukan pengelolaan secara khusus.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP No. 18/1999, setiap Badan Usaha yang melakukan kegiatan:
a. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
b. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
c. pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) PP No. 18/1999, setiap Badan Usaha yang melakukan kegiatan:
a. penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
b. pengangkut limbah B3 wajib memiliki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab;
c. pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 69 ayat
(1) huruf “b” sampai “f” UUPPLH ditegaskan bahwa:
1. setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wialayah Negara kesatuanRepublik Indonesia.
2. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Memasukkan limbah B3 ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Membuang limbah ke media lingkungan hidup.
5. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
1. setiap orang dilarang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wialayah Negara kesatuanRepublik Indonesia.
2. Memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Memasukkan limbah B3 ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Membuang limbah ke media lingkungan hidup.
5. Membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.
Memperhatikan kembali ketentuan Pasal 124 UUPPLH
yang menetapkan masih berlakunya peraturan pelaksana UUPLH, sepanjang tidak
bertentangan atau belum diganti, maka PP No. 18/1999, yang kemudian diubah dan
disempurnakan dengan PP No. 85/1999. PP No. 18/1999 sebagaimana yang telah
diubah dengan PP No. 85/1999 dinyatakan masih tetap berlaku, maka ketentuan
mengenai Perizinan dalam Pengelolaan Limbah B3, di atur dalam Pasal 40 sampai
Pasal 46 PP No. 18/1999.
Perizinan pengelolaan limbah B3 tersebut, diatur
dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 18
Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun
(PermenLH No. 18/2009), ditetapkan:
1. Jenis kegiatan pengelolaan limbah B3 yang wajib dilengkapi dengan izin terdiri atas kegiatan:
a. pengangkutan;
b. penyimpanan sementara;
c. pengumpulan;
d. pemanfaatan;
e. pengolahan; dan
f. penimbunan.
2. Penghasil limbah B3 tidak dapat melakukan kegiatan pengumpulan limbah B3.
3. Kegiatan pengumpulan limbah B3 hanya dapat diberikan izin apabila:
a. telah tersedia teknologi pemanfaatan limbah B3; dan/atau
b. telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak pengolah dan/atau penimbun limbah B3.
4. Kontrak kerja sama penyimpanan sementara limbah B3 wajib memuat tanggung jawab masing-masing pihak bila terdapat pencemaran lingkungan.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 dapat berupa a. kegiatan utama; atau b. bukan kegiatan utama.
Kegiatan pengelolaan Limbah B3 berdasarkan
ketentuan Pasal 3 PermenLH 18/2009, ditetapkan bahwa:
1. kegiatan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2. kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
3. kegiatan pengumpulan limbah wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
4. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari instansi terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
1. kegiatan pengangkutan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
2. kegiatan penyimpanan sementara limbah B3 wajib memiliki izin dari Bupati/Walikota.
3. kegiatan pengumpulan limbah wajib memiliki izin dari:
a. Menteri untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional setelah mendapat rekomendasi dari gubernur;
b. Gubernur untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
c. Bupati/Walikota untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota.
4. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari instansi terkait sesuai kewenangannya setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
5. Kegiatan pemanfaatan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
6. Kegiatan pengolahan dan penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin dari Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Permohonan rekomendasi Menteri Negara Lingkungan
Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PermenLH No. 18/2009 wajib
dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I PermenLH
No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PermenLH No.
18/2009.
Pengangkutan limbah B3 hanya diperkenankan jika
penghasil telah melakukan kontrak kerja sama dengan perusahaan pemanfaatan
limbah B3, penimbun limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau pengumpul limbah
B3.
Pengelolaan limbah B3 yang membutuhkan uji coba
alat, instalasi pengolahan, metode pengolahan, dan/atau pemanfaatan harus lebih
dahulu mendapat persetujuan uji coba dari Menteri. Kewenangan penerbitan
persetujuan uji coba yang dimaksud didelegasikan kepada Deputi Menteri. Dan
pelaksanaan uji coba tersebut disaksikan oleh staf Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk
dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan
limbah B3 tidak diwajibkan memiliki izin, namun Produk tersebut harus telah
melalui suatu proses produksi dan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI),
standar internasional, atau standar lain yang diakui oleh nasional atau
internasional.
Kewenangan penerbitan surat rekomendasi kegiatan pengangkutan, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dan kontrak kerjasama penyimpanan sementara limbah B3 serta izinnya, berdasarkan ketentuan Pasal 7 PermenLH 18/2009 dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kewenangan penerbitan surat rekomendasi kegiatan pengangkutan, penyimpanan sementara, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3 dan kontrak kerjasama penyimpanan sementara limbah B3 serta izinnya, berdasarkan ketentuan Pasal 7 PermenLH 18/2009 dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 8 PermenLH
No. 18/2009, Perusahaan yang kegiatan utamanya pengelolaan limbah B3 dan/atau
mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri wajib memiliki asuransi
pencemaran lingkungan hidup terhadap atau sebagai akibat pengelolaan limbah B3.
Batas pertanggungan/tanggung jawab asuransi ditetapkan paling sedikit Rp.
5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Perusahaan yang kegiatan
utamanya berupa pengelolaan limbah B3 dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan
dari kegiatan sendiri, berdasarkan ketentuan Pasal 9 PermenLH No. 18/2009,
wajib memiliki :
a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan
b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3.
a. laboratorium analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan; dan
b. tenaga yang terdidik di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3.
Kewajiban memiliki laboratorium
analisa atau alat analisa limbah B3 di lokasi kegiatan dan tenaga yang terdidik
di bidang analisa dan pengelolaan limbah B3, dikecualikan terhadap jenis
kegiatan pengangkutan limbah B3.
Permohononan mengajukan surat
permohonan izin pengelolaan limbah B3, berdasarkan Pasal 10 PermenLH No.
18/2009 kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Dan permohonan izin tersebut dilakukan dengan mengisi formulir
permohonan izin pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Permohonan
izin tersebut wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal sebagaimana tercantum
dalam Lampiran III PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari PermenLH No. 18/2009.
Permohonan uji coba pengelolaan
limbah B3 wajib dilengkapi dengan persyaratan minimal dan menggunakan formulir
permohonan uji coba pengelolaan limbah B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran
IV PermenLH No. 18/2009 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
Proses keputusan izin,
berdasarkan Pasal 11 PermenLH No. 18/2009, dilakukan melalui tahapan:
1. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
2. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang dilengkapi dengan Berita Acara.
3. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan, dan
4. finalisasi keputusan izin oleh Menteri.
1. penilaian administrasi yaitu penilaian kelengkapan persyaratan administrasi yang diajukan pemohon.
2. verifikasi teknis yaitu penilaian kesesuaian antara persyaratan yang diajukan oleh pemohon dengan kondisi nyata di lokasi kegiatan yang dilengkapi dengan Berita Acara.
3. penetapan persyaratan dan ketentuan teknis yang dimuat dalam izin yang akan diterbitkan, dan
4. finalisasi keputusan izin oleh Menteri.
Terhadap permohonan izin
tersebut, berdasarkan Pasal 12 PermenLH No. 18/2009 dapat berupa penerbitan
atau penolakan izin. Penolakan izin harus disertai dengan alasan penolakan.
Kewenangan penolakan izin dapat didelegasikan kepada Deputi Menteri. Keputusan
izin dimaksud dalam Pasal 11 PermenLH N0.18/2009 diterbitkan paling lama 45
(empat puluh lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permohonan izin
secara lengkap. Dalam hal permohonan izin belum lengkap atau belum memenuhi
persyaratan, surat permohonan izin dikembalikan kepada pemohon.
Izin yang dikeluarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d PermenLH No. 18/2009 berbentuk
Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Surat Keputusan Menteri
tersebut paling sedikit memuat:
a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab;
b. jenis pengelolaan limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban yang harus dilakukan;
f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban;
g. masa berlaku izin;
h. sistem pengawasan; dan
i. sistem pelaporan.
a. identitas perusahaan yang meliputi nama perusahaan, alamat, bidang usaha, nama penanggung jawab;
b. jenis pengelolaan limbah B3;
c. lokasi/area kegiatan pengelolaan limbah B3;
d. jenis dan karakteristik limbah B3;
e. kewajiban yang harus dilakukan;
f. persyaratan sebagai indikator dalam melakukan kewajiban;
g. masa berlaku izin;
h. sistem pengawasan; dan
i. sistem pelaporan.
Masa berlaku izin 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang. Permohonan perpanjangan izin diajukan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota 2 (dua) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir.
Permohonan perpanjangan izin menggunakan formulir permohan perpanjangan izin
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V PermenLH No. 18/2009 yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Apabila terjadi perubahan
terhadap jenis, karakteristik, jumlah, dan/atau cara pengelolaan limbah B3,
berdasarkan Pasal 16 PermenLH 18/2009, pemohon wajib mengajukan permohonan izin
baru.
Pengawasan terhadap penaatan
izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan Pasal 17 PermenLH No. 18/2009 dilakukan
oleh Menteri, Gubernur, dan/atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH)
dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup Daerah (PPLHD).
Berdasarkan ketentuan Pasal 18
PermenLH No. 18/2009, usaha dan/atau kegiatan pengangkutan, pengumpulan,
pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama
dan/atau mengelola limbah B3 yang bukan dari kegiatan sendiri yang telah
memiliki izin wajib menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat (1)
PermenLH No. 18/2009 paling lama 6 (enam) bulan. PermenLH 18/2009 mulai berlaku
pada tanggal 22 Mei 2009.
III. Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun, selanjutnya disebut Limbah B3 adalah setiap limbah yang mengandung
bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak
dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat membahayakan kesehatan
manusia, sedangkan Limbah Non B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
berupa sisa, skrap atau reja yang tidak termasuk dalam klasifikasi/kategori
limbah bahan berbahaya dan beracun.
Perbedaan antara Limbah B3
dengan Limbah Non B3 terletak pada terkandung tidaknya bahan berbahaya dan
beracun pada limbah yang bersangkutan. Jika limbah tersebut mengandung B3 maka
limbah tersebut dikatakan Limbah B3, jika limbah tersebut tidak mengandung B3,
maka limbah tersebut dikatakan limbah non B3.
Berdasarkan ketentuan PERATURAN
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 39/M-DAG/PER/9/2009 TENTANG
KETENTUAN IMPOR LIMBAH NON BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (NON B3), pengertian
sisa dalam limbah non B3 adalah produk yang belum habis terpakai dalam proses
produksi atau barang, yang masih mempunyai karakteristik yang sama namun
fungsinya telah berubah dari barang aslinya.
Pengertian Skrap dalam limbah
non B3 adalah barang yang terdiri dari komponen-komponen yang sejenis atau
tidak, yang terurai dari bentuk aslinya dan fungsinya tidak sama dengan barang
aslinya. Dan pengertian Reja dalam limbah non B3 adalah barang dalam bentuk
terpotong-potong dan masih bersifat sama dengan barang aslinya namun fungsinya
tidak sama dengan barang aslinya.
Terkait dengan pengimport besi
skrap yang tidak termasuk ke dalam limbah B3 atau Limbah Non B3 ketentuannya
diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan
Beracun (Non B3).
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan
Menteri tersebut di atas, Limbah Non B3 yang dapat diimpor hanya berupa Sisa,
Skrap atau Reja yang digunakan untuk bahan baku dan/atau bahan penolong
industri sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah
Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3). Limbah Non B3 hanya dapat diimpor
oleh perusahaan yang melakukan kegiatan usaha industri dan telah mendapat
Pengakuan sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 dari Direktur Jenderal. Pengakuan
sebagai Importer Produsen Limbah Non B3 sebagaimana dimaksud paling sedikit
memuat jumlah dan jenis Limbah Non B3 yang dapat diimpor oleh Importer Produsen
Limbah Non B3 beserta ketentuan teknis pelaksanaan importasinya.
Menurut Pasal 1 angka (6) dan
angka (7) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan
Beracun (Non B3), Importir Produsen Limbah Non B3 (IP LimbahNon B3) adalah
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha industri yang disetujui untuk
mengimpor sendiri Limbah Non B3 yang diperlukan semata-mata untuk proses
produksi dari industrinya dan tidak boleh diperdagangkan dan/atau
dipindahtangankan kepada pihak lain, sedangkan Eksportir Limbah Non B3 adalah
perusahaan di negara dimana Limbah Non B3 dihasilkan dan/atau dikapalkan yang
melakukan pengiriman Limbah Non B3 ke Indonesia.
Berdasarkan Pasal 6 Peraturan
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), setiap
pelaksanaan impor Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 wajib dilengkapi Surat
Pernyataan dari Eksportir Limbah Non B3, yang menyatakan bahwa:
a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan
b. bersedia bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3. Dalam hal Limbah Non B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya terbukti sebagai Limbah B3 Limbah Non B3 dimaksud wajib dikirim kembali oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 7
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009
tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), diatur
bahwa IP Limbah Non B3 wajib menyampaikan laporan tertulis baik melakukan
maupun tidak melakukan impor Limbah Non B3 setiap 3 (tiga) bulan sekali paling
lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya. Laporan sebagaimana dimaksud
disampaikan melalui http://inatrade.depdag.go.id, dan bentuk laporan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dala Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan Impor Limbah
Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Setiap importasi Limbah Non B3
oleh IP Limbah Non B3 berdasarkan ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan
Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), wajib dilakukan verifikasi
atau penelusuran teknis di negara muat sebelum dikapalkan.
Pelaksanaan verifikasi atau
penelusuran teknis dilakukan oleh Surveyor yang telah memenuhi persyaratan
teknis, dan ditetapkan oleh Menteri. Suveyor yang telah memenuhi persyaratan
teknis adalah telah: a. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS),
berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki cabang atau
perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan sistem
informasi untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d. mempunyai
rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan verifikasi impor.
Ruang lingkup pelaksanaan
verifikasi atau penelusuran teknis mencakup: a. identitas (nama dan alamat)
importir dan eksportir dengan benar dan jelas; b. nomor dan tanggal Pengakuan
sebagai IP Limbah Non B3; c. jumlah/volume atau berat, jenis dan spesifikasi,
serta nomor pos tarif/HS Limbah Non B3 yang diimpor; d. keterangan waktu dan
negara pengekspor/pelabuhan muat Limbah Non B3 yang diimpor; e. keterangan
tempat atau pelabuhan tujuan bongkar Limbah Non B3 yang diimpor; f. keterangan
dari eksportir berupa Surat Pernyataan Surat Pernyataan bahwa: limbah yang
diekspor bukan merupakan Limbah B3 dan bersedia bertanggung-jawab dan menerima
kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya apabila Limbah Non B3 tersebut
terbukti sebagai Limbah B3.; dan g. keterangan lain apabila diperlukan. Dalam
melaksanakan kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis, surveyor dapat
melakukan kerjasama dengan surveyor yang berada di luar negeri.
Hasil verifikasi atau
penelusuran teknis berdasarkan ruang lingkup dituangkan dalam bentuk Laporan
Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean dalam
penyelesaian kepabeanan di bidang impor. Surveyor wajib menyampaikan laporan
mengenai kegiatan verifikasi atau penelusuran teknis secara tertulis kepada
Direktur Jenderal setiap bulan pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
Untuk bisa memasukan Limbah Non
B3 maka perusahaan tersebut harus memiliki izin Importir Produsen (IP) Limbah
Non B3. IP Limbah Non B3 merupakan produsen yang diakui oleh Menteri
Perindustrian dan Perdagangan dan disetujui untuk mengimpor sendiri limbah Non
B3 yang diperlukan semata mata untuk proses produksinya. Kewenangan pemberian
Izin Usaha Limbah Non B3 berada pada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Departemen
Perdagangan di Jakarta. Untuk mendapatkan Izin Usaha (IU) Limbah Non B3,
diajukan permohonan kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri dengan melampirkan
diantaranya: Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Angka Pengenal Importir Umum
(API-U), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), NPWP, Bukti pemilikan/penguasaan gudang
penimbunan yang telah diakui oleh departemen teknis/lembaga pemerintah.
Dalam hal kegiatan import besi
skrap dengan tujuan Indonesia, kemudian ternyata besi skrap tersebut
berdasarkan Uji Laboratorium merupakan besi skrap yang positif mengandung
Limbah B3, maka memperhatikan ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2009
yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur
dalam Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
Pengelolaan Limbah B3 yaitu PP No. 18 tahun 1999 dan PP No. 85 tahun 1999.
Menurut ketentuan Pasal 53 ayat
(1) PP No. 18 Tahun 1999, diatur bahwa: setiap orang dilarang melakukan impor
limbah B3, selanjutnya dalam Pasal 53 ayat (7) PP No. 18 Tahun 1999 menetapkan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata niaga limbah B3 ditetapkan oleh
Menteri yang ditugasi dalam Bidang perdagangan setelah mendapat pertimbangan
dari Kepala instasi yang bertanggungjawab. Berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ditetapkan bahwa impor limbah B3
sebagai sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3 dan/atau beracun
yang sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakan lingkungan hidup,
dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup
manusia serta makhluk hidup lainnya.
Jika terjadi suatu impor yang
muatannya, misalnya berupa besi skrap yang positif mengandung B3 (Limbah B3)
maka berdasarkan ketentuan yang berlaku tidak dapat diimpor masuk ke Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), setiap pelaksanaan impor Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3
wajib dilengkapi Surat Pernyataan dari Eksportir Limbah Non B3, yang menyatakan
bahwa: a. limbah yang diekspor bukan merupakan Limbah B3; dan b. bersedia
bertanggung-jawab dan menerima kembali Limbah Non B3 yang telah diekspornya
apabila Limbah Non B3 tersebut terbukti sebagai Limbah B3. Dalam hal Limbah Non
B3 yang diimpor sebagian atau seluruhnya terbukti sebagai Limbah B3 maka Limbah
Non B3 dimaksud wajib dikirim kembali oleh IP Limbah Non B3 paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak kedatangan barang berdasarkan dokumen kepabeanan
yang berlaku.
Ketentuan Pasal 13 Peraturan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan
Impor Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menetapkan bahwa Importir yang
mengimpor Limbah Non B3 tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Import limbah B3 ataupun
pengimporan besi skrap yang mengandung limbah B3 dinyatakan dilarang atau tidak
boleh dilakukan, jika tetap dilakukan mempunyai konsekuensi sebagai bentuk pelanggaran
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d UUPPLH, dan terhadap
pelaku dapat dikenakan Pasal 106 UUPPLH.
Ketentuan Pasal 106 UU PPLH,
berbunyi: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf
d, dipinana dengan penjara paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama 15
tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,– dan paling banyak Rp.
15.000.000.000,–
Memperhatikan ketentuan UUPPLH,
tidak ada toleransi terhadap import limbah B3, termasuk import besi skrap yang
mengandung limbah B3. Besi skrap yang mengandung limbah B3 pada dasarnya juga
merupakan limbah B3. Jika besi skrap yang diimpor mengandung limbah B3, maka
import besi skrap tersebut tidak dapat dilakukan, dan jika impor tersebut tetap
juga dilakukan, maka import tersebut merupakan perbuatan yang di larang dan
melanggar ketentuan Pasal 69 ayat (1) huruf d jo Pasal 106 UUPPLH.
Selanjutnya, jika besi skrap
yang diimpor tidak mengandung limbah B3 atau sebagai Limbah Non B3, dapat
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang mengatur
tentang impor limbah non B3 yang harus dipatuhi diantaranya Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009 tentang Ketentuan
Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3).
Berdasarkan ketentuan Pasal 8
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009
tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3), Setiap
importasi Limbah Non B3 oleh IP Limbah Non B3 wajib dilakukan verifikasi atau
penelusuran teknis di negara muat sebelum dikapalkan. Pelaksanaan verifikasi
atau penelusuran teknis dilakukan oleh Surveyor yang telah memenuhi persyaratan
teknis, dan ditetapkan oleh Menteri.
Surveyor yang telah memenuhi
persyaratan teknis yaitu surveyor yang a. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey
(SIUJS); b. berpengalaman sebagai surveyor minimal 5 (lima) tahun; c. memiliki
cabang atau perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan
sistem informasi untuk mendukung efektifitas pelayanan verifikasi; dan d.
mempunyai rekam-jejak (track records) di bidang pengelolaan kegiatan verifikasi
impor.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 39/M-Dag/Per/9/2009
tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun (Non B3),
Menteri Perdagangan berkoordinasi dengan Menteri teknis terkait untuk membentuk
Satuan Tugas penanganan permasalahan importasi Limbah Non B3. Direktur Jenderal
Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan dapat membentuk Tim Pengawasan
dalam rangka evaluasi dan monitoring pelaksanaan importasi Limbah Non B3 oleh
IP Limbah Non B3.
Mengimpor besi skrap yang
mengandung limbah B3 dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan
peraturan Pasal 69 ayat (1) huruf d jo Pasal 106 UU No. 32/2009. Dalam hal
adanya impurities (pengotor) yang terbawa oleh limbah Non B3 dalam melaksanakan
impor yang mengandung Limbah B3 sebagaimana dimaksud dalam PP No. 18 tahun 1999
dan PP 85 tahun 1999, berarti limbah tersebut termasuk ke dalam limbah B3,
karena sudah masuk ke dalam limbah B3, limbah tersebut tidak dapat ditolerir
masuk ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika impurities (pengotor)
tersebut termasuk dalam daftar limbah B3, maka ketentuannya yaitu PP No. 18
Tahun 1999 dan PP No. 85 Tahun 1999. Ketentuan yang lebih rendah tidak dapat
menyampingkan ketentuan yang lebih tinggi, hal ini sesuai dengan asas Lex
superior derogat legi inperiori (kalau terjadi konflik/pertentangan antara
peraturan perundang-undangan yang tinggi dengan yang rendah maka yang tinggilah
yang harus didahulukan).
IV. Importir Limbah Non B3,
namun dalam kenyataannya limbah yang di impor tersebut mengandung B3, maka
Importir tersebut pada dasarnya telah mengimpor Limbah B3, dan terhadap
Importir Produsen Limbah Non B3 (IP Limbah Non B3) wajib mengirim kembali
limbah tersebut ke negara asal paling lambat 90 hari sejak kedatangan barang
berdasarkan dokumen kepabeanan yang berlaku. Apabila hal tersebut tidak
dilakukan, maka importir dikenakan sanksi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal
96 ayat (1) jo Pasal 106 UUPPLH.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar